Apa kabaaar? semoga selalu dalam lindungan Allah swt yaa^^
Hari ini aku mau ngepost mengenai sholat lhoo, simak yaa!:D
Shalat adalah perkara yang amat penting. Bahkan shalat termasuk
salah satu rukun Islam yang utama yang bisa membuat bangunan Islam tegak.
Namun, realita yang ada di tengah umat ini sungguh sangat berbeda. Kalau kita
melirik sekeliling kita, ada saja orang yang dalam KTP-nya mengaku Islam, namun
biasa meninggalkan rukun Islam yang satu ini. Mungkin di antara mereka, ada
yang hanya melaksanakan shalat sekali sehari, itu pun kalau ingat. Mungkin ada
pula yang hanya melaksanakan shalat sekali dalam seminggu yaitu shalat Jum’at.
Yang lebih parah lagi, tidak sedikit yang hanya ingat dan melaksanakan shalat
dalam setahun dua kali yaitu ketika Idul Fithri dan Idul Adha saja.
Memang sungguh prihatin dengan kondisi umat saat ini. Banyak yang mengaku Islam di KTP, namun kelakuannya semacam ini. Oleh karena itu, pada tulisan yang singkat ini kami akan mengangkat pembahasan mengenai hukum meninggalkan shalat. Semoga Allah memudahkannya dan memberi taufik kepada setiap orang yang membaca tulisan ini.
Para ulama sepakat bahwa meninggalkan shalat termasuk dosa besar yang
lebih besar dari dosa besar lainnya
Ibnu Qayyim Al Jauziyah –rahimahullah-
mengatakan, “Kaum muslimin bersepakat bahwa meninggalkan shalat lima waktu
dengan sengaja adalah dosa besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari
dosa membunuh, merampas harta orang lain, berzina, mencuri, dan minum minuman
keras. Orang yang meninggalkannya akan mendapat hukuman dan kemurkaan Allah
serta mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat.” (Ash Sholah, hal. 7)
Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Al Kaba’ir, Ibnu Hazm –rahimahullah- berkata, “Tidak ada dosa setelah
kejelekan yang paling besar daripada dosa meninggalkan shalat hingga keluar
waktunya dan membunuh seorang mukmin tanpa alasan yang bisa dibenarkan.” (Al Kaba’ir, hal.
25)
Adz Dzahabi –rahimahullah-
juga mengatakan, “Orang yang mengakhirkan shalat hingga keluar waktunya
termasuk pelaku dosa besar. Dan yang meninggalkan shalat secara keseluruhan
-yaitu satu shalat saja- dianggap seperti orang yang berzina dan mencuri.
Karena meninggalkan shalat atau luput darinya termasuk dosa besar. Oleh karena
itu, orang yang meninggalkannya sampai berkali-kali termasuk pelaku dosa besar
sampai dia bertaubat. Sesungguhnya orang yang meninggalkan shalat termasuk
orang yang merugi, celaka dan termasuk orang mujrim (yang berbuat dosa).” (Al Kaba’ir, hal.
26-27)
Apakah orang yang meninggalkan shalat, kafir
alias bukan muslim?
Dalam point sebelumnya telah dijelaskan, para ulama bersepakat
bahwa meninggalkan shalat termasuk dosa besar bahkan lebih besar dari dosa
berzina dan mencuri. Mereka tidak berselisih pendapat dalam masalah ini. Namun,
yang menjadi masalah selanjutnya, apakah orang yang meninggalkan shalat masih
muslim ataukah telah kafir?
Asy Syaukani -rahimahullah-
mengatakan bahwa tidak ada beda pendapat di antara kaum muslimin tentang kafirnya
orang yang meninggalkan shalat karena mengingkari kewajibannya. Namun apabila
meninggalkan shalat karena malas dan tetap meyakini shalat lima waktu itu wajib
-sebagaimana kondisi sebagian besar kaum muslimin saat ini-, maka dalam hal ini
ada perbedaan pendapat.
Mengenai meninggalkan shalat karena malas-malasan dan tetap meyakini shalat itu wajib, ada tiga pendapat di antara para ulama mengenai hal ini.
Mengenai meninggalkan shalat karena malas-malasan dan tetap meyakini shalat itu wajib, ada tiga pendapat di antara para ulama mengenai hal ini.
Pendapat pertama mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat harus dibunuh karena dianggap
telah murtad (keluar dari Islam). Pendapat ini adalah pendapat Imam Ahmad,
Sa’id bin Jubair, ‘Amir Asy Sya’bi, Ibrohim An Nakho’i, Abu ‘Amr, Al Auza’i,
Ayyub As Sakhtiyani, ‘Abdullah bin Al Mubarrok, Ishaq bin Rohuwyah, ‘Abdul
Malik bin Habib (ulama Malikiyyah), pendapat sebagian ulama Syafi’iyah,
pendapat Imam Syafi’i (sebagaimana dikatakan oleh Ath Thohawiy), pendapat Umar
bin Al Khothob (sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hazm), Mu’adz bin Jabal,
‘Abdurrahman bin ‘Auf, Abu Hurairah, dan sahabat lainnya.
Pendapat kedua mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat
dibunuh dengan hukuman had, namun tidak dihukumi kafir. Inilah pendapat Malik,
Syafi’i, dan salah salah satu pendapat Imam Ahmad.
Pendapat ketiga mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat
karena malas-malasan adalah fasiq (telah berbuat dosa besar) dan dia harus
dipenjara sampai dia mau menunaikan shalat. Inilah pendapat Hanafiyyah. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah Al
Kuwaitiyah, 22/186-187)
Jadi, intinya ada perbedaan pendapat dalam masalah ini di antara
para ulama termasuk pula ulama madzhab. Bagaimana hukum meninggalkan shalat
menurut Al Qur’an dan As Sunnah? Silakan simak pembahasan selanjutnya.
Pembicaraan orang yang meninggalkan shalat
dalam Al Qur’an
Banyak ayat yang membicarakan hal ini dalam Al Qur’an, namun
yang kami bawakan adalah dua ayat saja.
Allah Ta’ala berfirman,
فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ
خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ
غَيًّا إِلَّا مَنْ تَابَ وَآَمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا
“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti
(yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka
mereka kelak akan menemui al ghoyya, kecuali orang yang bertaubat, beriman dan
beramal saleh.” (QS.
Maryam: 59-60)
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhuma mengatakan bahwa ‘ghoyya’ dalam ayat
tersebut adalah sungai di Jahannam yang makanannya sangat menjijikkan, yang
tempatnya sangat dalam. (Ash
Sholah, hal. 31)
Dalam ayat ini, Allah menjadikan tempat ini –yaitu sungai di
Jahannam- sebagai tempat bagi orang yang menyiakan shalat dan mengikuti syahwat
(hawa nafsu). Seandainya orang yang meninggalkan shalat adalah orang yang hanya
bermaksiat biasa, tentu dia akan berada di neraka paling atas, sebagaimana
tempat orang muslim yang berdosa. Tempat ini (ghoyya) yang merupakan bagian
neraka paling bawah, bukanlah tempat orang muslim, namun tempat orang-orang
kafir.
Pada ayat selanjutnya juga, Allah telah mengatakan,
إِلَّا مَنْ تَابَ وَآَمَنَ
وَعَمِلَ صَالِحًا
“kecuali orang yang bertaubat, beriman dan
beramal saleh.” Maka
seandainya orang yang menyiakan shalat adalah mukmin, tentu dia tidak dimintai
taubat untuk beriman.
Dalam ayat yang lain, Allah Ta’ala berfirman,
فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا
الصَّلَاةَ وَآَتَوُا الزَّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ
“Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan
menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu
seagama.” (QS.
At Taubah [9]: 11). Dalam ayat ini, Allah Ta’ala mengaitkan persaudaraan seiman
dengan mengerjakan shalat. Berarti jika shalat tidak dikerjakan, bukanlah
saudara seiman. Konsekuensinya orang yang meninggalkan shalat bukanlah mukmin
karena orang mukmin itu bersaudara sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ
إِخْوَةٌ
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya
bersaudara.” (QS.
Al Hujurat [49]: 10)
Pembicaraan orang yang meninggalkan shalat
dalam Hadits
Terdapat beberapa hadits yang membicarakan masalah ini.
Dari Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ
الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ
“(Pembatas) antara seorang muslim dan
kesyirikan serta kekafiran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim no. 257)
Dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu -bekas budak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-, beliau mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بَيْنَ العَبْدِ وَبَيْنَ
الكُفْرِ وَالإِيْمَانِ الصَّلَاةُ فَإِذَا تَرَكَهَا فَقَدْ أَشْرَكَ
“Pemisah Antara seorang hamba dengan kekufuran
dan keimanan adalah shalat. Apabila dia meninggalkannya, maka dia melakukan
kesyirikan.” (HR.
Ath Thobariy dengan sanad shohih. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini
shohih. Lihat Shohih At Targib wa At Tarhib no. 566).
Diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
رَأْسُ الأَمْرِ
الإِسْلاَمُ وَعَمُودُهُ الصَّلاَةُ
“Inti (pokok) segala perkara adalah Islam dan
tiangnya (penopangnya) adalah shalat.” (HR. Tirmidzi no. 2825. Dikatakan shohih
oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan At
Tirmidzi). Dalam hadits ini, dikatakan bahwa shalat dalam agama
Islam ini adalah seperti penopang (tiang) yang menegakkan kemah. Kemah tersebut
bisa roboh (ambruk) dengan patahnya tiangnya. Begitu juga dengan islam, bisa
ambruk dengan hilangnya shalat.
Para sahabat ber-ijma’ (bersepakat) bahwa
meninggalkan shalat adalah kafir
Umar mengatakan,
لاَ إِسْلاَمَ لِمَنْ
تَرَكَ الصَّلاَةَ
“Tidaklah disebut muslim bagi orang yang meninggalkan shalat.”
Dari jalan yang lain, Umar berkata,
ولاَحَظَّ فِي الاِسْلاَمِ
لِمَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ
“Tidak ada bagian dalam Islam bagi orang yang meninggalkan
shalat.” (Dikeluarkan oleh Malik. Begitu juga diriwayatkan oleh Sa’ad di Ath Thobaqot, Ibnu Abi Syaibah dalam Al Iman.
Diriwayatkan pula oleh Ad Daruquthniy dalam kitab Sunan-nya, juga Ibnu ‘Asakir. Hadits ini shohih,
sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Gholil no.
209). Saat Umar mengatakan perkataan di atas tatkala menjelang sakratul maut,
tidak ada satu orang sahabat pun yang mengingkarinya. Oleh karena itu, hukum
bahwa meninggalkan shalat adalah
kafir termasuk ijma’ (kesepakatan) sahabat sebagaimana yang dikatakan oleh
Ibnul Qoyyim dalam kitab Ash Sholah.
Mayoritas sahabat Nabi menganggap bahwa orang yang meninggalkan
shalat dengan sengaja adalah kafir sebagaimana dikatakan oleh seorang tabi’in,
Abdullah bin Syaqiq. Beliau mengatakan,
كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ
-صلى الله عليه وسلم- لاَ يَرَوْنَ شَيْئًا مِنَ الأَعْمَالِ تَرْكُهُ كُفْرٌ
غَيْرَ الصَّلاَةِ
“Dulu para shahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah pernah menganggap suatu amal
yang apabila ditinggalkan menyebabkan kafir kecuali shalat.” Perkataan ini
diriwayatkan oleh At Tirmidzi dari Abdullah bin Syaqiq Al ‘Aqliy seorang
tabi’in dan Hakim mengatakan bahwa hadits ini bersambung dengan menyebut Abu
Hurairah di dalamnya. Dan sanad (periwayat) hadits ini adalah shohih. (Lihat Ats Tsamar Al Mustathob fi Fiqhis Sunnah wal Kitab,
hal. 52)
Dari pembahasan terakhir ini terlihat bahwasanya Al Qur’an,
hadits dan perkataan sahabat bahkan ini adalah ijma’ (kesepakatan) mereka
menyatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja adalah kafir
(keluar dari Islam). Itulah pendapat yang terkuat dari pendapat para ulama yang
ada.
Ibnul Qayyim mengatakan, “Tidakkah seseorang itu malu dengan
mengingkari pendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, padahal
hal ini telah dipersaksikan oleh Al Kitab (Al Qur’an), As Sunnah dan kesepakatan sahabat. Wallahul
Muwaffiq (Hanya Allah-lah yang dapat memberi taufik).” (Ash Sholah, hal.
56)
Berbagai kasus orang yang meninggalkan shalat
[Kasus Pertama] Kasus ini adalah meninggalkan shalat
dengan mengingkari kewajibannya sebagaimana mungkin perkataan sebagian orang, “Sholat oleh, ora sholat oleh.” [Kalau mau shalat boleh-boleh saja,
tidak shalat juga tidak apa-apa]. Jika hal ini dilakukan dalam rangka
mengingkari hukum wajibnya shalat, orang semacam ini dihukumi kafir tanpa ada
perselisihan di antara para ulama.
[Kasus Kedua] Kasus kali ini adalah meninggalkan shalat
dengan menganggap gampang dan tidak pernah melaksanakannya. Bahkan ketika
diajak untuk melaksanakannya, malah enggan. Maka orang semacam ini berlaku hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan kafirnya orang yang
meninggalkan shalat. Inilah pendapat Imam Ahmad, Ishaq, mayoritas ulama salaf
dari shahabat dan tabi’in.
[Kasus Ketiga] Kasus ini yang sering dilakukan kaum
muslimin yaitu tidak rutin dalam melaksanakan shalat yaitu kadang shalat dan
kadang tidak. Maka dia masih dihukumi muslim secara zhohir (yang nampak pada
dirinya) dan tidak kafir. Inilah pendapat Ishaq bin Rohuwyah yaitu hendaklah
bersikap lemah lembut terhadap orang semacam ini hingga dia kembali ke jalan
yang benar. Wal ‘ibroh bilkhotimah [Hukuman baginya dilihat dari keadaan
akhir hidupnya].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Jika seorang hamba
melakukan sebagian perintah dan meninggalkan sebagian, maka baginya keimanan
sesuai dengan perintah yang dilakukannya. Iman itu bertambah dan berkurang. Dan
bisa jadi pada seorang hamba ada iman dan nifak sekaligus. …Sesungguhnya
sebagian besar manusia bahkan mayoritasnya di banyak negeri, tidaklah selalu
menjaga shalat lima waktu. Dan mereka tidak meninggalkan secara total. Mereka
terkadang shalat dan terkadang meninggalkannya. Orang-orang semacam ini ada
pada diri mereka iman dan nifak sekaligus. Berlaku bagi mereka hukum Islam
secara zhohir seperti pada masalah warisan dan semacamnya. Hukum ini (warisan)
bisa berlaku bagi orang munafik tulen. Maka lebih pantas lagi berlaku bagi
orang yang kadang shalat dan kadang tidak.” (Majmu’ Al Fatawa,
7/617)
[Kasus Keempat] Kasus ini adalah bagi orang yang
meninggalkan shalat dan tidak mengetahui bahwa meninggalkan shalat membuat
orang kafir. Maka hukum bagi orang semacam ini adalah sebagaimana orang jahil (bodoh).
Orang ini tidaklah dikafirkan disebabkan adanya kejahilan pada dirinya yang
dinilai sebagai faktor penghalang untuk mendapatkan hukuman.
[Kasus Kelima] Kasus ini adalah untuk orang yang
mengerjakan shalat hingga keluar waktunya. Dia selalu rutin dalam
melaksanakannya, namun sering mengerjakan di luar waktunya. Maka orang semacam
ini tidaklah kafir, namun dia berdosa dan perbuatan ini sangat tercela
sebagaimana Allah berfirman,
وَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ (4)
الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ (5)
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang
shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.” (QS. Al Maa’un [107]: 4-5) (Lihat Al Manhajus Salafi ‘inda Syaikh Nashiruddin Al Albani,
189-190)
Sudah seharusnya kita menjaga shalat lima waktu. Barangsiapa
yang selalu menjaganya, berarti telah menjaga agamanya. Barangsiapa yang sering
menyia-nyiakannya, maka untuk amalan lainnya akan lebih disia-siakan lagi.
Amirul Mukminin, Umar bin Al Khoththob –radhiyallahu ‘anhu-
mengatakan, “Sesungguhnya di antara perkara terpenting bagi kalian adalah
shalat. Barangsiapa menjaga shalat, berarti dia telah menjaga agama.
Barangsiapa yang menyia-nyiakannya, maka untuk amalan lainnya akan lebih
disia-siakan lagi. Tidak ada bagian dalam Islam, bagi orang yang meninggalkan
shalat.”
Imam Ahmad –rahimahullah-
juga mengatakan perkataan yang serupa, “Setiap orang yang meremehkan perkara
shalat, berarti telah meremehkan agama. Seseorang memiliki bagian dalam Islam
sebanding dengan penjagaannya terhadap shalat lima waktu. Seseorang yang
dikatakan semangat dalam Islam adalah orang yang betul-betul memperhatikan
shalat lima waktu. Kenalilah dirimu, wahai hamba Allah. Waspadalah! Janganlah
engkau menemui Allah, sedangkan engkau tidak memiliki bagian dalam Islam. Kadar
Islam dalam hatimu, sesuai dengan kadar shalat dalam hatimu.” (Lihat Ash Sholah, hal. 12)
Oleh karena itu, seseorang bukanlah hanya meyakini
(membenarkan) bahwa shalat lima waktu itu wajib. Namun haruslah
disertai dengan melaksanakannya (inqiyad). Karena iman bukanlah hanya
dengan tashdiq (membenarkan), namun harus pula disertai dengan inqiyad
(melaksanakannya dengan anggota badan).
Ibnul Qoyyim mengatakan, “Iman adalah dengan membenarkan
(tashdiq). Namun bukan hanya sekedar membenarkan (meyakini) saja, tanpa
melaksanakannya (inqiyad). Kalau iman hanyalah membenarkan (tashdiq) saja,
tentu iblis, Fir’aun dan kaumnya, kaum sholeh, dan orang Yahudi yang
membenarkan bahwa Muhammad adalah utusan Allah (mereka meyakini hal ini
sebagaimana mereka mengenal anak-anak mereka), tentu mereka semua akan disebut
orang yang beriman (mu’min-mushoddiq).”
Al Hasan mengatakan, “Iman bukanlah hanya dengan angan-angan
(tanpa ada amalan).
Namun iman adalah
sesuatu yang menancap dalam hati dan dibenarkan dengan amal perbuatan.” (Lihat Ash Sholah, 35-36)
Semoga tulisan yang singkat ini bermanfaat bagi kaum muslimin.
Semoga kita dapat mengingatkan kerabat, saudara dan sahabat kita mengenai
bahaya meninggalkan shalat lima
waktu. Alhamdulillahilladzi bi
ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala
alihi wa shohbihi wa sallam.
Sumber: Dosa Meninggalkan Shalat Lima Waktu Lebih Besar Dibandingkan Dosa Berzina
Nah temen-temen, ternyata itulah tadi penjelasannya.. semoga bermanfaat untuk kita semua yaa^^